Rabu, 29 Mei 2013

Saat Waktu Menjawab Cinta

        Cerpen ini Aku buat saat mengikuti sebuah lomba. Yah, meskipun gak jadi pemenang, tapi bersyukur banget bisa ikut berpartisipasi :) Selamat membaca!

          Aku masih menikmati rintik hujan. Gemericiknya menemani untaian gitar yang Aku petik. Tak sengaja, Aku menoleh ke sebuah bingkai foto. Sudah lama Aku tak menyadari foto itu. Aku tersenyum getir akan eloknya senyuman wanita di foto itu. Wanita yang sampai saat ini masih tersimpan rapat di hatiku. Mungkin saat pertama kali Aku bertemu dengannya, di saat itulah cinta mulai menyapa. Ingatanku mengajakku berbalik ke 3 tahun silam.


            “Permisi, bisa minta bantuan gak?” Tiba-tiba seorang wanita menghampiriku. Aku tak menjawabnya. Aku tertegun melihat senyumnya yang manis.
            “Haloo..”
            “Ah, astaghfirullah.. maaf, maaf.. Iya. Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku sedikit gugup.
            “Aku mahasiswi baru disini. Perpustakaan sebelah mana ya?”
            “Ohh, deketnya Masjid. Mau Aku anterin?”
            “Ah, gak usah. Makasih..”
            “Sekalian Aku juga mau kesana kok..”
            “Boleh deh kalo gitu. Makasih ya..”
            Saat pertama kali bertemu dengannya, Aku jatuh cinta padanya. Aku memang bukan lelaki keren, kaya, dan pandai. Bukan pula lelaki yang fasih dan mengerti arti cinta. Yang Aku tahu sekarang, cinta mulai menyapaku lewat bidadari yang datang di siang bolong. Namanya Maria. Ia mahasiswi baru jurusan kedokteran. Ia cantik, berkarisma, dan selalu ceria.
            “Eh, udah adzan Ashar nih.. sholat yuk.” Ajakku padanya.
            “Maaf, Iwan. Aku non muslim. Kamu sholat aja, Aku tunggu disini.”
            Aku tertegun mendengar jawabannya. Segala hal kebimbangan berkecimuk dalam hatiku. Aku jatuh cinta pada seorang wanita non muslim. Aku pergi meninggalkannya menuju Masjid. Setelah sholat, Aku tak pergi menghampiri Maria yang kini sedang menungguku. Aku pergi berlari. Menjauh darinya berharap rasa cinta yang baru menyapaku tadi siang hilang dan lenyap.
            Berhari-hari, rasa ini tak pernah lenyap. Tiap kali Aku melihatnya. Senyumnya, rambut indahnya yang selalu terurai, mata indahnya, dan keceriaannya. Aku seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri ketika memandangnya. Namun, rasa takutku kembali muncul. Yah, rasa takutku karena Ia bukan seorang muslim. Keluargaku adalah keluarga yang fanatik agama. Dari kecil Aku diajarkan tentang aqidah dan tata aturan dalam Islam. Itulah alasanku, mengapa Aku begitu takut jika jatuh cinta pada seorang non muslim. Namun, Ia selalu saja membayangi fikiranku. Hingga akhirnya, Aku memberanikan diri dan mulai menentang aturan dalam keluargaku.
            Dua bulan sudah Aku berpacaran dengan Maria. Aku merasa menjadi seorang lelaki yang sangat beruntung memilikinya. Ia memang bukan seorang muslim, namun Ia sangat tahu posisiku dan keseharianku yang slalu taat dengan perintah agama. Ia bahkan selalu mengingatkanku untuk sholat dan berdoa. Aku selalu membayangkannya jika Ia berhijab dan seorang muslim. Mungkin, hanya waktu yang akan bisa menjawabnya nanti. Tak lama, waktu telah menjawabnya. Memberi jawaban menyakitkan dari beribu pertanyaan yang terlontar.
            Keluargaku mengetahui hubunganku dengan Maria. Mereka tak setuju, terutama Ayahku yang sangat marah besar padaku. Mereka menyuruhku untuk memutuskan hubunganku dengan Maria. Meski Aku telah memohonnya, namun mereka tak pernah mengerti rasa ini. Ketulusan yang telah Maria berikan untukku selama ini bagaikan pasir yang tersapu hujan. Perbedaan. Mengapa harus perbedaan yang dipermasalahkan jika perbedaan itu bisa disatukan?
            “Iwan, Aku tahu cinta kita memang beda. Aku sadar jika kita memang tak mungkin untuk bersatu. Kamu tak mungkin terus-terusan memaksa hubungan kita jika pada akhirnya tak bisa dipersatukan? Aku juga sulit jika kita harus mengakhirinya, namun waktu telah menjawab, Iwan. Waktu telah menjawab seribu pertanyaanmu tentang cinta dan kita.”
            “Tapi, Maria, Aku tak akan pernah putus asa! Aku yakin kita bisa menyatu. Pasti bisa. Aku akan berusaha. Kamu gak usah khawatir..”
            “Sudahlah. Itu hanya akan membuang waktu. Janganlah kamu menyesali nanti jika kamu harus mengais waktu. Kita sudah ditakdirkan untuk tidak saling menyatu. Percayalah, masih banyak wanita yang lebih baik dariku dan Ia seorang muslim. Bukankah wanita berhijab dan beriman yang kau cari? Aku bukanlah wanita yang tepat untukmu dan keluargamu. Lupakanlah kebersamaan di waktu lalu..”
            Perkataan Maria menusuk semangatku untuk bertahan. Ia meruntuhkan harapan yang kutanamkan untuknya. Meski kutahu, rasa sakitnya lebih dalam dariku.
            “Maria, mengapa kamu tak percaya padaku? Atau mungkin kamu sudah punya dambatan hati yang lain? Yang menerima kamu apa adanya, meski kamu non muslim atau tidak? Apa Aku tak pantas memperjuangakan harapan kita? Apa kamu meragukan keyakinan cintaku terhadapmu? Mengapa kamu menyerah, Maria?”
            “Aku tak menyerah, Iwan. Aku hanya lelah. Lelah akan ketulusanku ini. Percuma kita mempertahankannya, jika selalu saja ada yang meruntuhkannya!”
            “Kamu pasti sudah punya lelaki lain kan, Maria?”
            “Apa maksudmu? Aku tak pernah melakukan hal bodoh untuk berselingkuh!”
            “Baik, kalo itu kemauan kamu! Kita putus dan jangan pernah memperlihatkan wajahmu di hadapanku lagi, sebelum kamu menjadi wanita muslim!”
            “Oke. Aku akan datang kehadapanmu sebagai wanita muslim, kalo itu maumu!”
            Aku pergi meninggalnya. Kulihat raut wajah sedihnya. Aku tak tega sesungguhnya. Namun rasa kesal, perih, kecewa berkecimuk menjadi satu dan membuatku mengambil keputusan bodoh. Keputusan yang Aku sesali.
            Setelah kejadian itu, Aku tak pernah melihatnya. Aku rindu padanya. Mungkin rindu ini tak terasa saking tertumpuknya. Mungkin karena rindu Aku bertahan. Aku selalu menyebut namanya dalam setiap untaian doaku. Mengadu padaNya betapa Aku merindukan Maria.
            “Iwan..” Ada yang memanggilku. Ini masih pagi dan kampus masih sepi.
            “Iwan..” Suara itu lagi. Aku merasa mengenalnya. Namun, Aku mempercepat langkah.
            “Wan...” Kali ini Ia meraih tanganku. Dan betapa terkejutnya Aku siapa wanita di depanku saat ini.
            “Ma.. ri..a..??” Panggilku gugup tak percaya dengannya.
            “Aku memenuhi janjiku, beberapa bulan yang lalu. Terimakasih atas apapun yang kamu berikan kepadaku, Iwan. Aku merasa menemukan diriku sekarang.”
            Aku tak mampu berkata apapun. Ia telah memenuhi janjinya. Menjadi wanita muslim dan berhijab.
            “Maria, maafkan perkataanku dulu ya. Maaf juga atas kesalahanku.”
            “Gak papa kok, Wan. Aku malah yang makasih sama kamu.”
            “Ngomong-ngomong, kamu kemana sih kok gak pernah di kampus?”
            “Aku ambil cuti dan merenung. Yah, seperti inilah yang kamu lihat dari hasil renunganku.”
            Aku hanya tersenyum kecil. Ia semakin cantik dengan balutan jilbabnya.
            “Ehh, Aku harus menemui dosen. Aku pergi dulu ya.. Oke, daa”
            “Maria? Panggilku ketika Ia hendak berlalu.
            “Iya?” Ia menoleh.
            “Tak bisakah kita seperti dulu?”
            “Maaf, Wan.. Bukannya tak bisa. Aku hanya tak mau semakin menyakitimu dengan harapan yang kau tanamkan padaku. Dulu, Aku hanya berjanji untuk menjadi wanita muslim dihadapanmu. Tapi Aku tak pernah berjanji kita akan seperti dulu lagi. Ini semua tak akan sama seperti pertama kali cinta menyapa kepadamu. Percayalah, cinta akan kembali menyapamu lewat cinta yang baru.” Ia tersenyum dan pergi berlalu. Bagiku, itu adalah senyumannya yang begitu menyakitkan.
            Masih kupandangi figura yang berisi foto Maria. Aku masih saja merindukan wanita yang mungkin tak pernah merindukanku. Syair lagu dan untaian puisi yang tercipta untukknya pun tak sanggup menyembuhkan rindu ini. Bahkan waktu pun tak pernah bisa menyembuhkan beberapa luka yang sangat dalam dan mulai terasa sakitnya. Dan mungkin akan bisa sembuh ketika cinta baru mulai menyapa.

Selasa, 21 Mei 2013