Cerpen ini Aku buat saat mengikuti sebuah lomba. Yah, meskipun gak jadi pemenang, tapi bersyukur banget bisa ikut berpartisipasi :) Selamat membaca!
Aku masih menikmati rintik hujan.
Gemericiknya menemani untaian gitar yang Aku petik. Tak sengaja, Aku menoleh ke
sebuah bingkai foto. Sudah lama Aku tak menyadari foto itu. Aku tersenyum getir
akan eloknya senyuman wanita di foto itu. Wanita yang sampai saat ini masih
tersimpan rapat di hatiku. Mungkin saat pertama kali Aku bertemu dengannya, di
saat itulah cinta mulai menyapa. Ingatanku mengajakku berbalik ke 3 tahun
silam.
“Permisi, bisa minta bantuan gak?”
Tiba-tiba seorang wanita menghampiriku. Aku tak menjawabnya. Aku tertegun
melihat senyumnya yang manis.
“Haloo..”
“Ah, astaghfirullah.. maaf, maaf..
Iya. Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku sedikit gugup.
“Aku mahasiswi baru disini.
Perpustakaan sebelah mana ya?”
“Ohh, deketnya Masjid. Mau Aku
anterin?”
“Ah, gak usah. Makasih..”
“Sekalian Aku juga mau kesana kok..”
“Boleh deh kalo gitu. Makasih ya..”
Saat pertama kali bertemu dengannya,
Aku jatuh cinta padanya. Aku memang bukan lelaki keren, kaya, dan pandai. Bukan
pula lelaki yang fasih dan mengerti arti cinta. Yang Aku tahu sekarang, cinta
mulai menyapaku lewat bidadari yang datang di siang bolong. Namanya Maria. Ia
mahasiswi baru jurusan kedokteran. Ia cantik, berkarisma, dan selalu ceria.
“Eh, udah adzan Ashar nih.. sholat
yuk.” Ajakku padanya.
“Maaf, Iwan. Aku non muslim. Kamu
sholat aja, Aku tunggu disini.”
Aku tertegun mendengar jawabannya.
Segala hal kebimbangan berkecimuk dalam hatiku. Aku jatuh cinta pada seorang
wanita non muslim. Aku pergi meninggalkannya menuju Masjid. Setelah sholat, Aku
tak pergi menghampiri Maria yang kini sedang menungguku. Aku pergi berlari.
Menjauh darinya berharap rasa cinta yang baru menyapaku tadi siang hilang dan
lenyap.
Berhari-hari, rasa ini tak pernah
lenyap. Tiap kali Aku melihatnya. Senyumnya, rambut indahnya yang selalu
terurai, mata indahnya, dan keceriaannya. Aku seperti orang gila yang
senyum-senyum sendiri ketika memandangnya. Namun, rasa takutku kembali muncul.
Yah, rasa takutku karena Ia bukan seorang muslim. Keluargaku adalah keluarga
yang fanatik agama. Dari kecil Aku diajarkan tentang aqidah dan tata aturan
dalam Islam. Itulah alasanku, mengapa Aku begitu takut jika jatuh cinta pada
seorang non muslim. Namun, Ia selalu saja membayangi fikiranku. Hingga akhirnya,
Aku memberanikan diri dan mulai menentang aturan dalam keluargaku.
Dua bulan sudah Aku berpacaran
dengan Maria. Aku merasa menjadi seorang lelaki yang sangat beruntung
memilikinya. Ia memang bukan seorang muslim, namun Ia sangat tahu posisiku dan
keseharianku yang slalu taat dengan perintah agama. Ia bahkan selalu mengingatkanku
untuk sholat dan berdoa. Aku selalu membayangkannya jika Ia berhijab dan
seorang muslim. Mungkin, hanya waktu yang akan bisa menjawabnya nanti. Tak
lama, waktu telah menjawabnya. Memberi jawaban menyakitkan dari beribu
pertanyaan yang terlontar.
Keluargaku mengetahui hubunganku
dengan Maria. Mereka tak setuju, terutama Ayahku yang sangat marah besar
padaku. Mereka menyuruhku untuk memutuskan hubunganku dengan Maria. Meski Aku
telah memohonnya, namun mereka tak pernah mengerti rasa ini. Ketulusan yang
telah Maria berikan untukku selama ini bagaikan pasir yang tersapu hujan.
Perbedaan. Mengapa harus perbedaan yang dipermasalahkan jika perbedaan itu bisa
disatukan?
“Iwan, Aku tahu cinta kita memang
beda. Aku sadar jika kita memang tak mungkin untuk bersatu. Kamu tak mungkin
terus-terusan memaksa hubungan kita jika pada akhirnya tak bisa dipersatukan?
Aku juga sulit jika kita harus mengakhirinya, namun waktu telah menjawab, Iwan.
Waktu telah menjawab seribu pertanyaanmu tentang cinta dan kita.”
“Tapi, Maria, Aku tak akan pernah
putus asa! Aku yakin kita bisa menyatu. Pasti bisa. Aku akan berusaha. Kamu gak
usah khawatir..”
“Sudahlah. Itu hanya akan membuang
waktu. Janganlah kamu menyesali nanti jika kamu harus mengais waktu. Kita sudah
ditakdirkan untuk tidak saling menyatu. Percayalah, masih banyak wanita yang
lebih baik dariku dan Ia seorang muslim. Bukankah wanita berhijab dan beriman
yang kau cari? Aku bukanlah wanita yang tepat untukmu dan keluargamu.
Lupakanlah kebersamaan di waktu lalu..”
Perkataan Maria menusuk semangatku
untuk bertahan. Ia meruntuhkan harapan yang kutanamkan untuknya. Meski kutahu,
rasa sakitnya lebih dalam dariku.
“Maria, mengapa kamu tak percaya
padaku? Atau mungkin kamu sudah punya dambatan hati yang lain? Yang menerima
kamu apa adanya, meski kamu non muslim atau tidak? Apa Aku tak pantas
memperjuangakan harapan kita? Apa kamu meragukan keyakinan cintaku terhadapmu?
Mengapa kamu menyerah, Maria?”
“Aku tak menyerah, Iwan. Aku hanya
lelah. Lelah akan ketulusanku ini. Percuma kita mempertahankannya, jika selalu saja
ada yang meruntuhkannya!”
“Kamu pasti sudah punya lelaki lain
kan, Maria?”
“Apa maksudmu? Aku tak pernah
melakukan hal bodoh untuk berselingkuh!”
“Baik, kalo itu kemauan kamu! Kita
putus dan jangan pernah memperlihatkan wajahmu di hadapanku lagi, sebelum kamu
menjadi wanita muslim!”
“Oke. Aku akan datang kehadapanmu
sebagai wanita muslim, kalo itu maumu!”
Aku pergi meninggalnya. Kulihat raut
wajah sedihnya. Aku tak tega sesungguhnya. Namun rasa kesal, perih, kecewa
berkecimuk menjadi satu dan membuatku mengambil keputusan bodoh. Keputusan yang
Aku sesali.
Setelah kejadian itu, Aku tak pernah
melihatnya. Aku rindu padanya. Mungkin rindu ini tak terasa saking
tertumpuknya. Mungkin karena rindu Aku bertahan. Aku selalu menyebut namanya
dalam setiap untaian doaku. Mengadu padaNya betapa Aku merindukan Maria.
“Iwan..” Ada yang memanggilku. Ini
masih pagi dan kampus masih sepi.
“Iwan..” Suara itu lagi. Aku merasa
mengenalnya. Namun, Aku mempercepat langkah.
“Wan...” Kali ini Ia meraih
tanganku. Dan betapa terkejutnya Aku siapa wanita di depanku saat ini.
“Ma.. ri..a..??” Panggilku gugup
tak percaya dengannya.
“Aku memenuhi janjiku, beberapa
bulan yang lalu. Terimakasih atas apapun yang kamu berikan kepadaku, Iwan. Aku
merasa menemukan diriku sekarang.”
Aku tak mampu berkata apapun. Ia
telah memenuhi janjinya. Menjadi wanita muslim dan berhijab.
“Maria, maafkan perkataanku dulu ya.
Maaf juga atas kesalahanku.”
“Gak papa kok, Wan. Aku malah yang
makasih sama kamu.”
“Ngomong-ngomong, kamu kemana sih
kok gak pernah di kampus?”
“Aku ambil cuti dan merenung. Yah,
seperti inilah yang kamu lihat dari hasil renunganku.”
Aku hanya tersenyum kecil. Ia
semakin cantik dengan balutan jilbabnya.
“Ehh, Aku harus menemui dosen. Aku
pergi dulu ya.. Oke, daa”
“Maria? Panggilku ketika Ia
hendak berlalu.
“Iya?” Ia menoleh.
“Tak bisakah kita seperti dulu?”
“Maaf, Wan.. Bukannya tak bisa. Aku
hanya tak mau semakin menyakitimu dengan harapan yang kau tanamkan padaku.
Dulu, Aku hanya berjanji untuk menjadi wanita muslim dihadapanmu. Tapi Aku tak
pernah berjanji kita akan seperti dulu lagi. Ini semua tak akan sama seperti
pertama kali cinta menyapa kepadamu. Percayalah, cinta akan kembali menyapamu
lewat cinta yang baru.” Ia tersenyum dan pergi berlalu. Bagiku, itu adalah
senyumannya yang begitu menyakitkan.
Masih kupandangi figura yang berisi
foto Maria. Aku masih saja merindukan wanita yang mungkin tak pernah
merindukanku. Syair lagu dan untaian puisi yang tercipta untukknya pun tak
sanggup menyembuhkan rindu ini. Bahkan waktu pun tak pernah bisa menyembuhkan
beberapa luka yang sangat dalam dan mulai terasa sakitnya. Dan mungkin akan
bisa sembuh ketika cinta baru mulai menyapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar